Posting kali ini masih merupakan
kelanjutan dari posting sebelumnya. Yang kami angkat adalah beberapa kerancuan
dari orang yang membela acara maulid Nabi dan jawaban dari kerancuan tersebut.
Semoga bermanfaat.
[Pertama]
Maulid adalah Bentuk Rasa
Syukur, Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Cukup kami jawab, kalau memang
maulid adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab
yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini[?] Apakah keimanan mereka
lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya[?] Apakah orang
ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut[?]
Semoga kita dapat merenungkan
perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut.
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا
إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik,
tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada
setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat.
Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat
tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Juga kami katakan, “Mengapa ucapan
syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan,
mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali
setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua]
Maulid Nabi adalah Bid’ah
Hasanah (Bid’ah yang baik)
Perkataan ini muncul karena mereka
melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah
itu sesat.
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali
adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.
Perhatikanlah sabda Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam berikut.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim no. 867)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ
كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah
cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath
Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan
dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai
dalam kitab shohih)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ
رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat,
walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni
Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Lihatlah perkataan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan melihat bahwa mereka mengatakan
semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan
bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia
hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut mereka,
ada bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang
dimaksud dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab
yang berarti sesuatu yang baru.
Jika ada yang masih ngotot bahwa
tidak semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup
kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan
sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih
di awal-awal Ramadhan. Namun karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka
beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang, apa maulid Nabi memiliki
dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang
dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para
sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga
maulid tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat maulid adalah bid’ah
madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al
Fakihaniy yang telah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya.
[Ketiga]
Niatannya Supaya Lebih
Mengenal Sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mungkin ada yang berseloroh, kalau
melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati
agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mubah,
bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal
Nabinya.
Kita katakan kepadanya bahwa itu
tidak benar! Sungguh ironis, seorang yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok
beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi
oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke
dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya
bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun
sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang
Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran Nabi Isa melalui natalan, sedangkan
mereka merayakan kelahiran Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan
bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Sudikah kita mengenal dan mengenang
Nabi, namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita lakukan?! Dan siapa
bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cuma melalui
acara maulid yang hanya diadakan sekali setahun[?] Bukankah masih ada cara lain
yang sesuai tuntutan dan tidak tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.
[Keempat]
Nabi memperingati hari
kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah
hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan mengenai puasa pada hari Senin, beliau
pun menjawab,
« ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ
عَلَىَّ فِيهِ ».
“Hari tersebut adalah hari
kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima
wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab Anjuran Puasa Tiga
Hari Setiap Bulannya])
Sanggahan: Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk
merayakan hari kelahiran beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil.
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa
pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar
pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran
beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya
kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan
Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.
Semoga Allah senantiasa memberi
taufik. Insya Allah berikutnya kami akan sampaikan syubhat (kerancuan lainnya).
Semoga Allah beri kemudahan.